Inilah kisah orang-orang yang mereguk sukses dari usaha pembenihan nila. Dari yang bekerja dulu di kolam orang lain hingga punya puluhan kolam sendiri dan kendaraan mewah.
Deny Rusmawan, Direktur CV Dejeefish, Pembenih Ikan Nila Sukabumi
Awalnya, pria kelahiran Sukabumi, 3 Juni 1974 ini hanya membantu pamannya yang menampung gurami dan memasarkannya. Karena sering kesulitan memperoleh gurami, ia bertekad punya kolam sendiri. Lalu ia membentuk plasma pemelihara gurami. Belakangan berkembang dengan berbagai jenis ikan, termasuk pembenihan nila.
Varietas nila Gesit, juga Nirwana dan BEST menjadi andalannya. Meski modal awalnya hanya Rp3 juta dan tak punya kolam, kini ia memiliki 16 kolam. “Bisnis nila nggak ada matinya. Permintaan benih stabil,” tegas lulusan Sarjana Informatika, Unpad ini.
Setiap minggu ia memasok larva nila ke Bandung hampir 200 liter. Satu liter berisi 20 ribu larva berarti ia memasok sekitar 4 juta larva. Ini di antaranya untuk menyuplai waduk Cirata dan Jatiluhur. Selain itu, ia juga mengirimkan benih nila ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Tiap daerah tersebut ia kirim 20 ribu ekor ukuran 2 cm. Sedangkan larva yang ia pasok ke masing-masing pulau tadi sebanyak 100 ribu larva.
Bisa dihitung gambaran penghasilannya dari benih ini. Larva dihargai Rp10/ekor atau Rp150 ribu/liter. Sedangkan benih nilai Gesit ukuran 2-3 cm dijual Rp50/ekor, sementara yang berukuran 3-5 cm dijual Rp80-Rp100/ekor, tergantung pesanannya. Omzetnya untuk pengiriman Bandung saja Rp80 juta sebulan. Tak heran bila dari usahanya, Deny juga mampu membeli mobil Toyota Fortuner baru.
Kartoyo, Pemilik Hatchery Nila Kekar, Pasuruan
Pada 1995, tujuh tahun sebelum PNS di UPT PBAT Umbulan, Dinas Perikanan dan Kelautan Tingkat I Pasuruan ini pensiun, ia telah memutuskan untuk bisnis. “Nila ini sepertinya consumer good, jadi faktor risikonya tidak terlalu besar beda dengan koi dan lainnya. Jadi, seperti orang PNS yang penting selamat. Prospeknya luar biasa, ikan ini berdaging putih yang bisa dimasukkan ke kelas yang lebih atas. Bahkan sekarang levelnya sudah menengah ke atas sebagai substitusi golongan kakap dan sebagainya,” tandas Kartoyo.
Bapak yang satu ini sangat fokus pada pengembangan indukan nila. “Konsumen saya ‘kan juga harus hidup, ini core bisnis saya, jadi jangan main-main. Supaya dia untung, ya saya harus beri barang bagus. Terus terang, pakan bagus banyak, tapi benih bagus itu ‘kan yang susah,” paparnya.
Pada 2007, saat bekerja pada satu perusahaan pembenihan nila swasta, ia mulai menghasilkan strain yang ia sebut Kekar (Keluarga Kartoyo). Rancangan program kerjanya sekarang adalah menciptakan strain baru. Kapasitas produksinya 2-3 juta benih/bulan. “Untungnya nggak banyak, dapat 2,5 juta kalikan Rp15-Rp20,” akunya.
Selain ke Jawa, ia memasok ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Untuk skala kecil ke NTB, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. “Porsi besar ke Lampung, Bengkulu, Jambi, Palembang,” katanya.
Harga per paket induk yang dijualnya Rp4 juta, terdiri dari 100 jantan, 300 betina. Ada juga calon induk ukuran 1-2 cm seharga Rp500 ekor, 2-3 cm Rp750/ekor, 3-5 cm Rp1.500/ekor, dan 9-12 cm 10.000/ekor.
Heru Santosa, Pembenih Nila, di Wonosobo
Lelaki kelahiran Wonosobo, 26 Mei 1969 ini terjun ke bisnis ikan pada 2000. Ia mulai belajar pembesaran selama dua tahun, lalu pada tahun ke empat mulai usaha pendederan. Pada 2008, ia bikin kelompok pembenihan Mina Sari dan menjadi ketuanya.
Kelompoknya memiliki 2.000 ekor induk. “Yang punya saya sendiri sekitar 500 indukan. Yang hitam 50 jantan, betinanya sekitar 150. Yang induk merah 100 jantan, 300 betina. Baru bisa sekitar 70% memijah,” ungkap Heru yang tinggal di kawasan Betengsari ini.
Awalnya, indukan nila hitam diperoleh dari hasil keturunan nila asal Taiwan yang didatangkan kepala desanya. Lantas, ia memperoleh bantuan induk nila hitam dari dinas dua kali. Selanjutnya, untuk menggantikan induk yan
Deny Rusmawan, Direktur CV Dejeefish, Pembenih Ikan Nila Sukabumi
Awalnya, pria kelahiran Sukabumi, 3 Juni 1974 ini hanya membantu pamannya yang menampung gurami dan memasarkannya. Karena sering kesulitan memperoleh gurami, ia bertekad punya kolam sendiri. Lalu ia membentuk plasma pemelihara gurami. Belakangan berkembang dengan berbagai jenis ikan, termasuk pembenihan nila.
Varietas nila Gesit, juga Nirwana dan BEST menjadi andalannya. Meski modal awalnya hanya Rp3 juta dan tak punya kolam, kini ia memiliki 16 kolam. “Bisnis nila nggak ada matinya. Permintaan benih stabil,” tegas lulusan Sarjana Informatika, Unpad ini.
Setiap minggu ia memasok larva nila ke Bandung hampir 200 liter. Satu liter berisi 20 ribu larva berarti ia memasok sekitar 4 juta larva. Ini di antaranya untuk menyuplai waduk Cirata dan Jatiluhur. Selain itu, ia juga mengirimkan benih nila ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Tiap daerah tersebut ia kirim 20 ribu ekor ukuran 2 cm. Sedangkan larva yang ia pasok ke masing-masing pulau tadi sebanyak 100 ribu larva.
Bisa dihitung gambaran penghasilannya dari benih ini. Larva dihargai Rp10/ekor atau Rp150 ribu/liter. Sedangkan benih nilai Gesit ukuran 2-3 cm dijual Rp50/ekor, sementara yang berukuran 3-5 cm dijual Rp80-Rp100/ekor, tergantung pesanannya. Omzetnya untuk pengiriman Bandung saja Rp80 juta sebulan. Tak heran bila dari usahanya, Deny juga mampu membeli mobil Toyota Fortuner baru.
Kartoyo, Pemilik Hatchery Nila Kekar, Pasuruan
Pada 1995, tujuh tahun sebelum PNS di UPT PBAT Umbulan, Dinas Perikanan dan Kelautan Tingkat I Pasuruan ini pensiun, ia telah memutuskan untuk bisnis. “Nila ini sepertinya consumer good, jadi faktor risikonya tidak terlalu besar beda dengan koi dan lainnya. Jadi, seperti orang PNS yang penting selamat. Prospeknya luar biasa, ikan ini berdaging putih yang bisa dimasukkan ke kelas yang lebih atas. Bahkan sekarang levelnya sudah menengah ke atas sebagai substitusi golongan kakap dan sebagainya,” tandas Kartoyo.
Bapak yang satu ini sangat fokus pada pengembangan indukan nila. “Konsumen saya ‘kan juga harus hidup, ini core bisnis saya, jadi jangan main-main. Supaya dia untung, ya saya harus beri barang bagus. Terus terang, pakan bagus banyak, tapi benih bagus itu ‘kan yang susah,” paparnya.
Pada 2007, saat bekerja pada satu perusahaan pembenihan nila swasta, ia mulai menghasilkan strain yang ia sebut Kekar (Keluarga Kartoyo). Rancangan program kerjanya sekarang adalah menciptakan strain baru. Kapasitas produksinya 2-3 juta benih/bulan. “Untungnya nggak banyak, dapat 2,5 juta kalikan Rp15-Rp20,” akunya.
Selain ke Jawa, ia memasok ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Untuk skala kecil ke NTB, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. “Porsi besar ke Lampung, Bengkulu, Jambi, Palembang,” katanya.
Harga per paket induk yang dijualnya Rp4 juta, terdiri dari 100 jantan, 300 betina. Ada juga calon induk ukuran 1-2 cm seharga Rp500 ekor, 2-3 cm Rp750/ekor, 3-5 cm Rp1.500/ekor, dan 9-12 cm 10.000/ekor.
Heru Santosa, Pembenih Nila, di Wonosobo
Lelaki kelahiran Wonosobo, 26 Mei 1969 ini terjun ke bisnis ikan pada 2000. Ia mulai belajar pembesaran selama dua tahun, lalu pada tahun ke empat mulai usaha pendederan. Pada 2008, ia bikin kelompok pembenihan Mina Sari dan menjadi ketuanya.
Kelompoknya memiliki 2.000 ekor induk. “Yang punya saya sendiri sekitar 500 indukan. Yang hitam 50 jantan, betinanya sekitar 150. Yang induk merah 100 jantan, 300 betina. Baru bisa sekitar 70% memijah,” ungkap Heru yang tinggal di kawasan Betengsari ini.
Awalnya, indukan nila hitam diperoleh dari hasil keturunan nila asal Taiwan yang didatangkan kepala desanya. Lantas, ia memperoleh bantuan induk nila hitam dari dinas dua kali. Selanjutnya, untuk menggantikan induk yan
Komentar
Posting Komentar